Selasa, 21 Mei 2013

Koreksi penyelenggaraan pendidikan

KOREKSI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Catatan ini diilhami oleh salah seorang siswa yang saya bimbing. Siswa tersebut mengikuti bimbingan belajar yang saya adakan. Hari itu, ia kelihatan sangat lelah hingga saya tertarik untuk bertanya. Betapa kagetnya saya karena ia mengaku baru saja mengikuti 4 ulangan harian dari bidang studi yang berbeda di sekolahnya. Keempat ulangan harian tersebut dilaksanakan pada hari yang sama. Kekagetan saya semakin bertambah ketika ia juga mengaku keesokan harinya harus kembali mengikuti 4 ulangan harian dari 4 bidang studi yang lain. Satu hal yang terlintas di pikiran saya adalah betapa melelahkannya sekolah bagi siswa tersebut.
Hal ini membuat saya berpikir bahwa penyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada siswa adalah perlu. Artinya siswa tidak dianggap sebagai barang mati yang tidak memiliki aspirasi sehingga guru bisa menetapkan jadwal ulangan harian tanpa menanyakan pada siswa apakah ada ulangan harian yang telah dijadwalkan oleh guru yang lain pada hari itu. Tentunya sangat sulit untuk bisa berkonsentrasi pada 4 ulangan harian pada hari yang sama. Hal ini pun akan menimbulkan kelelahan yang luar biasa. Jika demikian, bisa dikatakan sedikit sekali keberpihakan pendidikan pada siswa.
Konsep Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata “educatio”. Salah satu definisi education adalah freedom yang artinya kebebasan. Hal ini berarti bahwa pendidikan memberikan kebebasan pada peserta pendidikan itu sendiri dalam hal ini siswa. Pemberian kebebasan ini berarti baik dalam hal kebebasan dari kebodohan dan kebebasan dari pemaksaan. Kebebasan dalam konsep ini juga berarti dengan pendidikan siswa diberi kebebasan untuk berkreasi bahkan untuk dapat menemukan pengetahuannya sendiri. Perwujudan kebebasan inilah yang saat ini sedang diusahakan sistem pendidikan nasional dengan merubah paradigma teacher centered menjadi student centered. Banyak model-model pembelajaran baru yang mengusahakan agar siswa menjadi aktif hingga mampu menemukan pengetahuan itu sendiri. Dengan hal ini diharapkan pembelajaran menjadi menyenangkan karena berdasar pada kebebasan.
Namun apa yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini adalah jauh dari definisi freedom itu sendiri. Dapat diperhatikan bahwa beban anak-anak kita saat ini di sekolah sangat berat. Mereka harus mengikuti berbagai kegiatan pembelajaran yang cukup padat. Tugas-tugas yang diberikan pun bertambah seiring dengan konsep mengaktifkan siswa untuk menemukan pengetahuan secara mandiri. Hal ini pun semakin menambah beban siswa di sekolah.
Saat ini tengah digalakkan sistem evaluasi yang menekankan pada ketrampilan proses dan penilaian proses. Dalam hal ini diharapkan siswa tidak hanya memiliki kemampuan kognitif (pengetahuan) saja namun juga afektif dan psikomotorik. Bahasa lainnya siswa memiliki “not only a big head, but also a big heart and a big hand”. Namun ternyata Ujian Nasional yang menjadi kontroversi setiap tahunnya hanya menguji siswa dalam hal kognitif saja. Proses yang dilakukan siswa tidak diuji, sehingga sekali lagi siswa dibebani dengan ekspektasi untuk lulus dan mendapatkan nilai. Tujuan belajarnya tidak lagi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan namun semata-mata untuk memperoleh nilai. Akhirnya pendidikan yang dilaksanakan akan menjadi goal oriented, dan bukan process oriented. Dengan beban pendidikan seperti ini, pantaslah jika kecurangan demi kecurangan terus berlangsung. Siswa curang untuk bisa lulus seperti mencuri soal UN seperti yang terjadi baru-baru ini di Makassar. Siswa menyontek untuk mendapatkan nilai. Soal Ujian Nasional dijadikan lahan bisnis baru untuk diperjual belikan. Bahkan guru pun ikut-ikutan “latah” dengan berusaha mati-matian memenuhi standar kelulusan yang telah ditetapkan. Pada akhirnya sistem pendidikan itu pun menjadi kacau balau karena penuh dengan kecurangan. Jika sudah terjadi hal seperti ini, pantaskah bahwa pendidikan diartikan sebagai kebebasan? Seberapa berpihaknya pendidikan pada siswa?
Konsep deschooling
Mengutip pendapat Ivan Illich yang mengemukakan konsep deschooling adalah sangat menarik berkaitan dengan pendidikan yang berpihak pada siswa. Melalui konsep deschooling, Ivan Illich mengemukakan konsep pembebasan siswa dari sekolah. Hal ini didasari dari pemikiran bahwa hanya 40% dari keseluruhan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah yang kelak terpakai dalam kehidupan. Jika dipikirkan, ada banyak bidang studi yang harus dipelajari anak-anak kita yang kelak mungkin tidak terpakai di dunia kerja. Sementara dalam penyelenggaraan pendidikan siswa harus mengikuti keseluruhan bidang studi tersebut. Bahkan pada akhir periode pembelajaran, siswa harus mengikuti evaluasi yang meminta ekspektasi bahwa siswa harus lulus. Pertanyaan yang mungkin mengemuka adalah seberapa perlunya mempelajari seluruh bidang studi jika yang terpakai kelak hanya 40% saja? Berdasarkan pemikiran ini maka Ivan Illich mengemukakan konsep untuk membebaskan siswa dari sekolah. Dengan hal ini siswa bebas memilih pengetahuan yang diperlukan untuk hidup dan berkehidupan. Dengan konsep pembebasan ini pula maka siswa dapat merasakan “learning is fun” sehingga pembelajaran itu sendiri pun menjadi bermakna. Dengan konsep deschooling ini fokus penilaian pun menjadi penilaian proses dan bukan penilaian hasil. Dalam penilaian ini siswa tidak perlu menyontek untuk mendapatkan hasil karena yang dipentingkan bukanlah hasil, namun proses.
Pendidikan yang Berpihak pada Siswa
Saat ini harus dipikirkan seberapa besar keberpihakan pendidikan pada siswa. Apakah UN merupakan keberpihakan pendidikan pada siswa? Tentu saja tidak. Jadi, apakah pendidikan yang berpihak pada siswa hanya diwujudkan dengan model-model pembelajaran yang merubah paradigma teacher centered menjadi student centered? Bukankah perubahan paradigma tersebut justru menjadikan tugas siswa semakin bertambah? Ironisnya lagi, perubahan paradigma pembelajaran tidak didukung dengan sistem evaluasi yang berpihak pada siswa karena pada akhirnya kelulusan siswa ditentukan dengan angka standar yang dipertaruhkan dalam waktu tiga hari UN. Lalu, adakah sedikit saja keberpihakan pendidikan pada siswa?
Memperingati tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional dapat menjadi momentum awal untuk melakukan sedikit perubahan dalam dunia pendidikan saat ini. Jika mengacu pada pendapat Ivan Illich dengan konsep deschooling masih terlalu absurd untuk dilaksanakan, maka sebagai sesama praktisi pendidikan, saya menyarankan satu langkah kecil untuk menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada siswa.
Jika memetakan konsep pendidikan sebagai suatu sistem maka siswa terletak pada area input, yaitu sebagai bahan baku yang akan diolah dalam proses pembelajaran menjadi output. Maka sudah sepantasnya diselenggarakan pendidikan yang berpihak pada siswa, karena siswa merupakan customer dalam pendidikan. Dalam hal ini berarti pendidikan harus selalu memperhatikan kebutuhan dan perkembangan siswa sebagai peserta didik. Sebagai contoh, sekolah sebagai penyelenggara pendidikan hendaknya menetapkan aturan bahwa ulangan harian maksimal hanya untuk 2 bidang studi dalam satu hari. Ini berati siswa berhak untuk keberatan jika ada guru bidang studi ketiga yang hendak menyelenggarakan ulangan harian di hari yang sama. Dengan menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada siswa, maka guru juga dituntut untuk memiliki rencana pembelajaran yang efektif sehingga tidak mengandalkan alasan “waktu yang kurang” sehingga membebani siswa dengan ulangan harian yang menumpuk pada satu hari. Pendidikan yang berpihak pada siswa juga akan menimbulkan kepuasan pada diri siswa karena mereka merasa dihargai sebagai makhluk hidup yang memiliki aspirasi. Pada akhirnya sekolah juga akan mendapatkan keuntungan karena konsep ini akan meningkatkan kerjasama antar guru dalam mengkonsolidasikan ulangan harian yang akan meningkatkan sinergi guru sehingga menunjang kegiatan pembelajaran. Efektivitas belajar siswa pun akan meningkat karena tidak dibebani dengan tumpukan ulangan harian. Diharapkan langkah kecil ini akan dapat membawa pendidikan dalam arti luas untuk berpihak pada siswa. Saya akhiri artikel ini dengan mengutip pepatah filosof China yang menyatakan bahwa “one thousand miles journey starts from one step”, maka adalah sangat bijaksana untuk dapat melaksanakan satu langkah kecil dalam meniti suatu perjalanan panjang. Artinya, jika Ujian Nasional belum mampu untuk dirubah, jika beban siswa di sekolah belum mampu untuk dikurangi, jika membebaskan anak dari sekolah pun masih terlalu mustahil untuk dilakukan, maka alangkah bijaksananya jika kita selaku praktisi pendidikan melakukan langkah kecil untuk memulai pendidikan yang berpihak pada siswa.

1 komentar:

  1. Pendidikan kita memang belum menunjukan keberpihakannya kepada siswa,dapat dilihat juga dari pembebanan kurikulum yang begitu banyak bagi siswa,mulai dari banyaknya mata diklat, ditambah lagi dengan adanya mata diklat yang tidak terlalu berefek pada ketrampilan siswa baik kognitif,afektif dan psikomotor, bahkan pembebanan mata diklat justru mengurangi jam belajar bagi mata diklat wajib yang harus dipelajari oleh siswa disekolah. Anehnya hal tersebut dilakukan oleh negara sebagai penanggung jawab tertinggi dari pelaksanaan pendidikan. contoh kongkrit yang dapat dilihat dari kurikulum KTSP yang lagi berjalan untuk SMK, adanya penambahan mata diklat Kesenian,IPS,IPA justru mengurangi jumlah jam mata diklat produktif. Secara sadar kira telah menambah beban belajar yang kurang memberikan efek berarti bagi tujuan pendidikan SMK dan mengurangi apa yang sesungguhnya menjadi hak para siswa. Jadi dengan fakta yang saya pahami dengan apa yang anda tulis maka saya setuju jika pendidikan kita memang belum berpihak pada siswa.(Mustafa Muhammad,S.Pd)

    BalasHapus