Hanya bangsa yang akan bunuh diri saja yang
meremehkan hakikat pendidikan. Ini bukan “slogan” tetapi kenyataan. Negara yang
kualitas pendidikannya memadai terbukti mampu memenangkan kompetisi. Mereka
menjadi “Tuan” dan “Siap menjajah” bangsa lain, dengan berbagai kemampuan dan
produk pendidikannya. Contoh konkrit kemajuan Negara Jepang bidang teknologi
tidak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan.
Kekalahan
Jepang terhadap sekutu pada PD II, mampu membakar semangat juang masyarakatnya
“hidup atau mati”, memajukan pendidikan. Jepang mengirimkan pemuda- pemuda pilihannya
untuk sekolah di luar negeri dengan memikul tekad “berhasil atau mati”.
Hasilnya, Jepang mampu memenangi berbagai
persaingan teknologi. Hal tersebut diikuti juga oleh Negara-negara lain seperti
Singapura dan Selandia Baru yang dinyatakan kualitas pendidikannya meyakinkan
di Asia. Dan yang menarik kualitas pendidikan itu ternyata berkorelasi dengan
“Kejujuran” dan “Keberhasilan Sistem Pemerintah”. Ketiga negara tersebut
dinyatakan tingkat korupsinya paling rendah.
Hal ini bisa menjadi bukti bahwa sektor pendidikan
sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa dan negara. Bisa menjadi “Tuan”
tapi juga bisa menjadi “Budak”. Itu semua tergantung sikap bangsa terhadap
pendidikan.
Bagaimana
dengan bangsa kita? Bagaimana dengan kita?
Jika
kita bangsa Indonesia tidak bisa memprioritaskan masalah pendidikan, atau tidak
serius dalam menangani pendidikan, atau masih menjamurnya “Mafia” di lembaga
pendidikan, kita tidak bisa menjamin bakal dapat mencontoh negara Jepang, Singapura
dan negaranegara lain yang lebih maju. Bukan tidak mungkin kita akan menjadi “Pasar”,
orang lain menjadi penjual sedang kita sebagai pembeli, itupun bila punya uang.
Memang harus diakui, proses pendidikan memakan waktu
yang lama dan hasilnya tidak cepat terlihat “Kasat Mata”. Tetapi pendidikan
adalah upaya “membangun dan menyelamatkan masa depan”. Jadi berfikir tentang
pendidikan bukan sekedar “Kekinian” namun lebih kepada “keakanan” masa depan.
Membahas pendidikan pasti membahas guru, siswa dan
sarana belajar, dan guru adalah ujung tombaknya pendidikan.
Guru
langsung “bergumul dengan persoalan pendidikan. Guru senantiasa “berkeringat
dan berair mata” mengelola pendidikan. Keberadaan guru tidak bisa “diremehkan”
apalagi di “lecehkan” oleh siapa saja. Guru adalah “nabi-nabi kecil” yang menyandang
tugas mulia, membangun dan menyelamatkan masa depan hidup manusia. Guru adalah
penjaga peradaban bangsa dan penuntun kemanusiaan.
Persoalannya guru harus mampu hidup dan bekerja
sesuai dengan konteks zaman. Sehingga mampu menghadapi berbagai persoalan yang
“mengganggu”, bahkan “merusak” peradaban dan proses pendidikan. Para siswa kita
digoda dan tergoda dengan berbagai hal yang lebih menggiuarkan dari pada
belajar serius. Para siswa belum bisa memilih dan memilah serta memanfaatkannya
secara positif dan maksimal kemajuan teknologi dan globalisasi yang berkembang
di era sekarang. Lalu bagaimana dengan sikap kita? Pasrah saja, pokoknya
bekerja? Jawabnya tentu tidak.
A.
Guru punya visi dan misi
Kita
perlu merenung ulang mengapa dan untuk apa menjadi guru?
Jika
menjadi guru sekedar mencari nafkah itu bukan “Hakikat Guru”. Tetapi jika kita
seorang guru yang menjadi sarana mewujudkan generasi yang baik dan lebih baik,
pandangan guru tidak hanya “kekinian” dan “Kelampauan” namun keduanya itu
digunakan sebagia bahan untuk melihat “keakanan” atau masa depan, kita bangga
dan gagah menjadi guru.
Menjadi
guru memang tidak bisa menjadi dokter atau insinyur tetapi guru bisa mencetak
dokter
dan insinyur.
B.
Guru senantiasa mengembangkan kualitas prosefesionalismenya
Guru
harus lebih maju dan terus maju, karena kehidupan terus maju, teknologi terus
maju.
Guru
harus “resah” dalam rangka menghadapi persoalan pendidikan.
Mentalitas
“nrimo” dalam hal belajar harus diajuhkan, guru harus “haus”, “lapar”, dan “lahap”
dalam mengembangkan wawasan keilmuan dan kinerja dalam rangka menyiapkan generasi
(siswa) yang siap menerima tantangan dan tuntutan zaman.
Hal
yang tidak boleh dilupakan guru adalah membaca dan mengembangkan teknologi, dua
hal itu yang harus dilakukan dalam rangka menjaga “kewibawaan” serta yang harus
“dipamerkan”
dihadapan
para siswa.
C.
Menjadi guru yang baik ditempat bekerja
Kinerja
profesionalisme konkret yang dapat dilihat dari seorang guru adalah bagaimana
ia mendidik dan mengajar peserta didik. Yang merasakan “kehebatan” guru adalah
siswanya. Bagaimana guru “beraction” di hadapan siswa, adalah siswa yang menikmatinya.
Bagaimana guru merencanakan pembelajaran yang dimulai dari strategi, model,
metode dan teknik yang tepat dan menarik agar proses pembelajaran dapat dinikmati
bersama baik oleh siswa sebagai subyeknya maupun guru dan orang tua.
D.
Pembelajaran yang menimbulkan ketertarikan
Di
era sekarang ini siswa lebih senang belajar dengan bermain dari pada harus membaca
buku pelajaran, menghafal dan sebagainya. Peran alat peraga, media elektronika
besar sekali pengaruh positifnya, meskipun ada juga pengaruh negatifnya.
Siswa
sangat senang menonoton TV, bermain Play Station, otak atik HP, dari pada harus
membaca buku. Alata-alat itu memiliki daya pikat yang sangat tinggi, mereka
senang dan cepat sekali menguasai teknik dan cara pengoperasionalannya.
Dari
hal tersebut dapat memberikan inspirasi positif kepada para guru dalam
menyampaikan informasi keilmuannya kepada siswasiswanya.
Tidak
cukup hanya diajak memikirkan kurikulum, strategi, metode, teknik, dan model
pembelajaran yang jitu. Sama saja bohong bila tak ada sarana dan prasarana yang
memadai, karena keseumuanya itu kurang memiliki daya tarik. Pengadaan alat
peraga baik yang elektronika maupun non eletro amat penting, karena siswa
kecuali belajar juga bermain mereka senang, sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai dengan maksimal.
Kurikulum
kita belum berimbang dalam menentukan alokasi wkatu diantaranya pembelajaran
yang bersifat teoritis dengan praktek, masih lebih tinggi teoritisnya akibatnya
pemahaman siswa masih bersifat verbalisme, tidak realitas, konkret, nyata dan fakta,
sehingga dalam kompetisi di tingkat dunia siswasiswa mengalami masalah yang sangat
besar jika dihadapannya disediakan alat elektro, mereka tidak mampu mengoperasikan
alat tersebut karena memang belum pernah melihat apalagi menggunakannya. Kita
semua tergolong “gatek”.
Agar
kita tidak mendapat titel tersebut maka kita perlu dikembangkan pembelajaran
yang menggunakan alat teknologi, alat peraga yang sesuai tingkat kemampuan
penyelenggara pendidikan.
PENUTUP
Dari
sedikit uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Keberhasilan pembelajaran tidak hanya tergantung pada satu sisi saja yaitu guru
tetapi juga yang lain yaitu siswa, orang tua dan sarana.
2.
Manfaat media pembelajaran (alat peraga) mampu menambah pemahaman praktek, sehingga
siswa tidak hanya paham teori.
3.
Pembelajaran menggunakan media (peraga) elektronik sangat praktis, efektif,
efisien dan menarik baik bagi guru apalagi siswa, hal ini yang sangat
didambakan oleh semua pendidik, sehingga output siswa dapat terjual, karena
memiliki keterampilan dan keahlian.
4.
Perlu kontinuitas pelatihan guru-guru tentang penggunaan media pembelajaran
(Komputer, LCD Projector dan pembuatan slide presentase)
5.
Fungsi media secara umum adalah:
a.
Memperjelas penyajian
b.
Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera
c.
Menimbulkan kegairahan belajar
d.
Memungkinkan berinteraksi langsung
e. Memungkinkan belajar mandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar