Selasa, 14 Mei 2013

catatan pendidikan

Hanya bangsa yang akan bunuh diri saja yang meremehkan hakikat pendidikan. Ini bukan “slogan” tetapi kenyataan. Negara yang kualitas pendidikannya memadai terbukti mampu memenangkan kompetisi. Mereka menjadi “Tuan” dan “Siap menjajah” bangsa lain, dengan berbagai kemampuan dan produk pendidikannya. Contoh konkrit kemajuan Negara Jepang bidang teknologi tidak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan.
Kekalahan Jepang terhadap sekutu pada PD II, mampu membakar semangat juang masyarakatnya “hidup atau mati”, memajukan pendidikan. Jepang mengirimkan pemuda- pemuda pilihannya untuk sekolah di luar negeri dengan memikul tekad “berhasil atau mati”. Hasilnya, Jepang mampu  memenangi berbagai persaingan teknologi. Hal tersebut diikuti juga oleh Negara-negara lain seperti Singapura dan Selandia Baru yang dinyatakan kualitas pendidikannya meyakinkan di Asia. Dan yang menarik kualitas pendidikan itu ternyata berkorelasi dengan “Kejujuran” dan “Keberhasilan Sistem Pemerintah”. Ketiga negara tersebut dinyatakan tingkat korupsinya paling rendah.
Hal ini bisa menjadi bukti bahwa sektor pendidikan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa dan negara. Bisa menjadi “Tuan” tapi juga bisa menjadi “Budak”. Itu semua tergantung sikap bangsa terhadap pendidikan.
Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana dengan kita?
Jika kita bangsa Indonesia tidak bisa memprioritaskan masalah pendidikan, atau tidak serius dalam menangani pendidikan, atau masih menjamurnya “Mafia” di lembaga pendidikan, kita tidak bisa menjamin bakal dapat mencontoh negara Jepang, Singapura dan negaranegara lain yang lebih maju. Bukan tidak mungkin kita akan menjadi “Pasar”, orang lain menjadi penjual sedang kita sebagai pembeli, itupun bila punya uang.
Memang harus diakui, proses pendidikan memakan waktu yang lama dan hasilnya tidak cepat terlihat “Kasat Mata”. Tetapi pendidikan adalah upaya “membangun dan menyelamatkan masa depan”. Jadi berfikir tentang pendidikan bukan sekedar “Kekinian” namun lebih kepada “keakanan” masa depan.
Membahas pendidikan pasti membahas guru, siswa dan sarana belajar, dan guru adalah ujung tombaknya pendidikan.
Guru langsung “bergumul dengan persoalan pendidikan. Guru senantiasa “berkeringat dan berair mata” mengelola pendidikan. Keberadaan guru tidak bisa “diremehkan” apalagi di “lecehkan” oleh siapa saja. Guru adalah “nabi-nabi kecil” yang menyandang tugas mulia, membangun dan menyelamatkan masa depan hidup manusia. Guru adalah penjaga peradaban bangsa dan penuntun kemanusiaan.
Persoalannya guru harus mampu hidup dan bekerja sesuai dengan konteks zaman. Sehingga mampu menghadapi berbagai persoalan yang “mengganggu”, bahkan “merusak” peradaban dan proses pendidikan. Para siswa kita digoda dan tergoda dengan berbagai hal yang lebih menggiuarkan dari pada belajar serius. Para siswa belum bisa memilih dan memilah serta memanfaatkannya secara positif dan maksimal kemajuan teknologi dan globalisasi yang berkembang di era sekarang. Lalu bagaimana dengan sikap kita? Pasrah saja, pokoknya bekerja? Jawabnya tentu tidak.

A. Guru punya visi dan misi
Kita perlu merenung ulang mengapa dan untuk apa menjadi guru?
Jika menjadi guru sekedar mencari nafkah itu bukan “Hakikat Guru”. Tetapi jika kita seorang guru yang menjadi sarana mewujudkan generasi yang baik dan lebih baik, pandangan guru tidak hanya “kekinian” dan “Kelampauan” namun keduanya itu digunakan sebagia bahan untuk melihat “keakanan” atau masa depan, kita bangga dan gagah menjadi guru.
Menjadi guru memang tidak bisa menjadi dokter atau insinyur tetapi guru bisa mencetak
dokter dan insinyur.

B. Guru senantiasa mengembangkan kualitas prosefesionalismenya
Guru harus lebih maju dan terus maju, karena kehidupan terus maju, teknologi terus maju.
Guru harus “resah” dalam rangka menghadapi persoalan pendidikan.
Mentalitas “nrimo” dalam hal belajar harus diajuhkan, guru harus “haus”, “lapar”, dan “lahap” dalam mengembangkan wawasan keilmuan dan kinerja dalam rangka menyiapkan generasi (siswa) yang siap menerima tantangan dan tuntutan zaman.
Hal yang tidak boleh dilupakan guru adalah membaca dan mengembangkan teknologi, dua hal itu yang harus dilakukan dalam rangka menjaga “kewibawaan” serta yang harus “dipamerkan”
dihadapan para siswa.

C. Menjadi guru yang baik ditempat bekerja
Kinerja profesionalisme konkret yang dapat dilihat dari seorang guru adalah bagaimana ia mendidik dan mengajar peserta didik. Yang merasakan “kehebatan” guru adalah siswanya. Bagaimana guru “beraction” di hadapan siswa, adalah siswa yang menikmatinya. Bagaimana guru merencanakan pembelajaran yang dimulai dari strategi, model, metode dan teknik yang tepat dan menarik agar proses pembelajaran dapat dinikmati bersama baik oleh siswa sebagai subyeknya maupun guru dan orang tua.

D. Pembelajaran yang menimbulkan ketertarikan
Di era sekarang ini siswa lebih senang belajar dengan bermain dari pada harus membaca buku pelajaran, menghafal dan sebagainya. Peran alat peraga, media elektronika besar sekali pengaruh positifnya, meskipun ada juga pengaruh negatifnya.
Siswa sangat senang menonoton TV, bermain Play Station, otak atik HP, dari pada harus membaca buku. Alata-alat itu memiliki daya pikat yang sangat tinggi, mereka senang dan cepat sekali menguasai teknik dan cara pengoperasionalannya.
Dari hal tersebut dapat memberikan inspirasi positif kepada para guru dalam menyampaikan informasi keilmuannya kepada siswasiswanya.
Tidak cukup hanya diajak memikirkan kurikulum, strategi, metode, teknik, dan model pembelajaran yang jitu. Sama saja bohong bila tak ada sarana dan prasarana yang memadai, karena keseumuanya itu kurang memiliki daya tarik. Pengadaan alat peraga baik yang elektronika maupun non eletro amat penting, karena siswa kecuali belajar juga bermain mereka senang, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal.
Kurikulum kita belum berimbang dalam menentukan alokasi wkatu diantaranya pembelajaran yang bersifat teoritis dengan praktek, masih lebih tinggi teoritisnya akibatnya pemahaman siswa masih bersifat verbalisme, tidak realitas, konkret, nyata dan fakta, sehingga dalam kompetisi di tingkat dunia siswasiswa mengalami masalah yang sangat besar jika dihadapannya disediakan alat elektro, mereka tidak mampu mengoperasikan alat tersebut karena memang belum pernah melihat apalagi menggunakannya. Kita semua tergolong “gatek”.
Agar kita tidak mendapat titel tersebut maka kita perlu dikembangkan pembelajaran yang menggunakan alat teknologi, alat peraga yang sesuai tingkat kemampuan penyelenggara pendidikan.

PENUTUP
Dari sedikit uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Keberhasilan pembelajaran tidak hanya tergantung pada satu sisi saja yaitu guru tetapi juga yang lain yaitu siswa, orang tua dan sarana.
2. Manfaat media pembelajaran (alat peraga) mampu menambah pemahaman praktek, sehingga siswa tidak hanya paham teori.
3. Pembelajaran menggunakan media (peraga) elektronik sangat praktis, efektif, efisien dan menarik baik bagi guru apalagi siswa, hal ini yang sangat didambakan oleh semua pendidik, sehingga output siswa dapat terjual, karena memiliki keterampilan dan keahlian.
4. Perlu kontinuitas pelatihan guru-guru tentang penggunaan media pembelajaran (Komputer, LCD Projector dan pembuatan slide presentase)
5. Fungsi media secara umum adalah:
a. Memperjelas penyajian
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera
c. Menimbulkan kegairahan belajar
d. Memungkinkan berinteraksi langsung
e. Memungkinkan belajar mandiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar