Selasa, 04 November 2014

Tunning Kotak Speaker


kotak speaker kelihatannya sangat sepele tapi kotak itulah final ke telinga kita.
sangat sederhana....
kami umpamakan sebuah motor yang dipasang knalpot. pada knalpot standar gimana bunyinya?
pada motor yang sama kita mengganti knalpot racing dengan merk tertentu, gimana bunyinya?
terus ganti merk yang lain.... gimana hasilnya?

pada kotak speakerlah ruang resonansi berproses hingga menghasilkan bunyi akustik yang sempurna
tahap pengejaan untuk tunning kotak speaker :
1. siapkan software untuk mengukur range frekuensi yang akan dicover speaker
2. siapkan software untuk mengukur volume kotak speaker, kemampuan power ampli dan handling ruang dengar
3. setelah uji dengan beberapa software di atas akan ketemu ukuran kotak speaker dan kemampuan power amplifier serta sistim audio yang akan dirakit. kami gunakan 2way. jalur stereo untuk mid+high dan low-nya menggunakan mono blok.
tahapnya :
 selamat berkreasi.... inovasi tiada henti dan teknologi selalu berkembang

Hard Disk Player

DVD yang beredar dipasaran kelas murah meriah dengan ciri :
1. Harga murah, bisa terjangkau oleh ekonomi lemah tapi ingin hiburan
2. Kualitas meragukan, karena monopoli harga
3. Regulator gampang jeblok
4. MPEG mudah rusak karena jam tayang over dosis
5. optic gampang katarak oleh ulah DVD dan CD bajakan.
lewat kesempatan ini kami mencoba memaparkan pengantian optic yang katarak dengan Harddisk.
riset kami telah melalui tahap uji coba dengan segala medan dan perlakuan yang ekstrim asal supply listrik tetap stabil, kalo enggak HDD mudah badsector.


 Tahapan pengerjaan :
1. posisikan semua kedudukan modul sesuai selera
2. pastikan regulator HDD terpasang bila menggunakan HDD dengan supply 12 dan 5volt
3. format HDD dengan FAT
4. Copy lagu karaoke kesayangan
5. colokkan kabel R-Drive sebagai komunikasi ATA or SATA via USB disk player
6. selamat mencoba
tambahan....
bila menggunakan HDD ex laptop or HDD external pada beberapa merk DVD player belum support disebabkan arus pada regulator pada DVD belum mampu untuk bufer HDD


Selasa, 17 Juni 2014

fakta kebohongan demokrasi

Fakta Pertama
Masih segar dalam ingatan kasus Semanggi Mei 1998 yang lalu, ketika semua orang menuntut presiden Soeharto untuk turun setelah lebih dari 30 tahun berkuasa. Saat itu, mahasiswa turun kejalan dan menduduki gedung MPR DPR, pemerintah dibuat bingung dan kewalahan dengan aksi massa yang tidak terkendali. Saat itu, ada yang disebut dengan penembak misterius yang secara membabi buta menembaki para mahasiswa yang sedang mengamuk. Saat itu dengung reformasi dalam segala hal terus menggema disegala bidang. Akhirnya berakhir lah masa pemerintahan ORBA dan beralih kepada masa reformasi.
 Tahun 1999 partai lokomotif reformasi dibawah kepemimpinan Amin Rais berada diatas angin dan menjadi pemimpin reformasi yang saat itu tengah bergema. Namun hasil pemilu saat itu berkata lain, partai yang terdepan menyuarakan reformasi ini tidak memenangkan pemilu. Partai pemenang pemilu justru partai yang citra reformasinya tidak terlalu kental dibandingkan partai yang dikomandoi oleh Amin Rais. Salah satu sebabnya adalah keuangan yang mereka miliki tidak sebanyak partai yang lain yang lebih banyak.
 Hal ini tentu banyak menimbulkan pertanyaan, apakah demokrasi itu benar-benar keinginan luhur rakyat yang harus dipenuhi oleh para wakil rakyat?
 
 
Fakta Kedua
Pada tahun 1991 partai FIS di Aljazair memenangkan 188 kursi dari 231 melalui proses pemilu yang berjalan demokratis. Namun, apa yang terjadi? Partai Islam yang memperjuangkan syariah Islam ini justru dijegal dan hasil pemilu tersebut dianulir oleh militer yang direstui oleh Perancis, bahkan para militer menangkapi anggota partai ini. Hingga akhirnya FIS menjadi partai terlarang di Aljazair.
Sama halnya dengan HAMAS di Palestina yang sekian lama berjuang di luar parlemen mencoba untuk masuk kedalam sistem demokrasi. Hasilnya adalah, ketika melalui proses pemilu yang demokratis HAMAS memenangkan pemilu dengan hasil bulat dan mayoritas, namun saat itu AS dan Israel tidak menginginkan hal tersebut dengan segera hasil pemilu itu dianulir. Akhirnya, partai FATAH pimpinan Mahmoud Abbas lah yang menjadi pemimpin Palestina.
Hal ini kembali menimbulkan tanda tanya besar, benarkah demokrasi itu baik dan dapat mensejahterakan rakyat? Sementara kita semua tahu HAMAS adalah partai yang berjuang untuk membebaskan Palestina dari penjajah Laknatullah Israel, namun ketika ia memenangkan pemilu apa yang terjadi?
Hal itu semua sangat tidak sesuai dengan jargon demokrasi itu sendiri yang dikatakan kedaulatan rakyat. Siapakah yang sebenarnya berkuasa dalam sistem demokrasi? Rakyat atau orang-orang kaya yang memiliki kepentingan? Hal itu dapat dilihat dengan mata telanjang, gamblang dan sangat jelas terbuka.
Lima tahun setelah partai FIS dinyatakan terlarang, di Turki partai Refah memenangkan pemilu dan berhasil duduk di parlemen dan memerintah dengan perdana menterinya Najmuddin Erbakan. Namun, satu tahun berjalan, pemerintahannya digulingkan oleh militer karena mereka menganggap partai ini memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi Turki yang sekuler. Pada tahun 1998 Mahkamah Agung Turki menyatakan bahwa partai Refah adalah partai terlarang.
Benarlah apa yang dikatakan seorang pengamat, bahwa dalam demokrasi tidak ada sahabat dan musuh abadi tetapi yang ada hanya kepentingan abadi.
Fakta Ketiga
Menurut artinya, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya seperti itu?
 
Faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapitalis pula lah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat.
 
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clefrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam faktanya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).
 
Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa walaupun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Mereka pun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok tertentu.
 
Pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer.
 
Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen kalau tidak memiliki modal.
 
Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia.
 
Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen. Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas menngesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri).
 
Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan Indonesia.
 
Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada prakteknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.
 
Fakta Keempat
Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini.
 
Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Perancis dan beberapa negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi).
Atas nama perang melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan praktek lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.
 
 Tidak adanya relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci sejahtera-tidaknya sebuah negara.
 
Fakta Kelima
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktekkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah,
Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. 
 
Kemiskinan terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktekkan saat ini oleh negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.
 
Sementara itu, kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.
 
Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.
Fakta Keenam
Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya. Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. 
 
Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.
 
Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal antar masyarakat.
 
Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok. Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia, sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut dengan stabilitas?
 
 
Fakta Ketujuh
Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.
 
Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.
 
Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi (mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.
 
 
Fakta Kedelapan
Banyak pihak berharap, demokrasi akan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, berdasarkan asumsi bahwa semakin demokratis, rakyat akan kian sejahtera. Berbagai model demokrasi pun dicoba. Mulai dari Demokrasi Terpimpin ala Soekarno, Demokrasi Pancasila ala Soeharto, demokrasi ala Habibie, hingga demokrasi liberal ala reformasi. Namun, hasil yang diharapkan tak kunjung tiba. Rakyat tetap saja tidak menikmati buah berdemokrasi selain hanya pesta demokrasi.
 
Terbukti, 60 tahun Indonesia merdeka lebih dari 30 persen penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Lebih dari 100 juta penduduk belum memiliki akses air minum yang layak. Angka kemiskinan berada pada angka sekitar 17 persen jika menggunakan standar nasional. Namun, jika standar yang digunakan adalah Bank Dunia, lebih banyak lagi warga negara Indonesia yang miskin. Kenyataan seperti ini tidak hanya dijumpai di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti India yang jauh lebih dulu mencoba berdemokrasi. Bahkan di Amerika sendiri, pemerintahnya tak mampu menghilangkan kemiskinan ini. Malah tahun ini jumlahnya akan meningkat akibat krisis ekonomi.
 
Alfian, dalam tulisannya berjudul ’Defisiensi Demokrasi’ (2000), menyebut demokrasi yang dikejar sangat mudah menjurus pada defisiensi demokrasi; proses transisi tersebut pada akhirnya menghalangi reformasi ekonomi. Bahkan reformasi ekonomi itu cenderung dimanipulasi oleh elit penguasa dan akhirnya menjebak proses transisi menjadi lahirnya otoritarianisme baru. Proses demokrasi justru mampu menyedot potensi ekonomi yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lebih luas, hanya demi ongkos politik. Menarik kiranya mengutip pernyataan Samuel Hutington (1996), bahwa demokrasi tidak selalu merupakan pilihan terbaik karena ia dapat menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian.
 
Para pengamat politik menilai biaya Pemilu tahun ini terlalu besar. Jika ditotal, penyelenggaraan Pemilu dan biaya yang dikeluarkan oleh partai politik dan calegnya, angkanya bisa mencapai Rp 50 triliun. Ini hampir sama dengan anggaran untuk mengatasi kemiskinan yang berjumlah sekitar Rp 57 triliun. Padahal rakyat tidak merasakan langsung dana yang besar itu. Lagi-lagi yang diuntungkan para pengusaha, bukan rakyat jelata.
 
Tak mengherankan, jika krisis ekonomi di Indonesia tidak kunjung usai setelah 10 tahun berlalu. Ironisnya, di tengah keterpurukan ekonomi seperti ini banyak berseliweran mobil-mobil mewah dan pembangunan gedung-gedung megah. Mereka inilah kelompok yang diuntungkan dalam demokrasi sekarang. Ingat, bahwa demokrasi adalah sarana bagi liberalisasi perdagangan menancapkan kukunya di negara-negara berkembang.
 
Fakta Kesembilan
Menteri perekonomian Hatta Radjasa mengatakan bahwa kenaikan TDL hampir pasti sebab telah diputuskan sesuai dengan APBN 2010 sebesar 10%  yang direncanakan berlaku mulai tanggal 2 Juli 2010.
Sementara diluar gedung DPR, banyak masyarakat yang menolak kenaikan TDL tersebut,  beberapa organisasi mahasiswa langsung turun kejalan menyuarakan suara rakyat kecil. Salah seorang warga yang menolak disebut namanya menuturkan bahwa rencana kenaikan TDL ini terasa sangat memberatkan dirinya. Tidak hanya dirinya, namun juga masyarakat dengan tingkat ekonomi kebawah.
 
Warga Gorontalo sebagaimana dikutip oleh situs berita antaranews.com dengan terang-terangan dan tegas menolak rencana kenaikan TDL tersebut. Seorang warga mengatakan, "Saya pribadi tak percaya lagi dengan PLN. TDL mau naik, tapi pelayanan mereka tak ditingkatkan dan sangat tidak profesional".
Sebelumnya sempat beredar isyu bahwa listrik akan gratis, namun hal tersebut dibantah oleh menteri energi dan sumber daya mineral Darwin Saleh di Jakarta. Menurutnya, sekarang ini ada sekitar 18 juta keluarga miskin yang belum menikmati jaringan listrik, sehingga akan menyebabkan ketidakadilan bagi yang belum mendapat layanan PLN. (berita.liputan6.com)
 
Bisnis Ritel pun menyesalkan dengan adanya kenaikan TDL tersebut. Koordinator Lintas Asosiasi Nasional, Franky Sibarani, mengatakan kenaikan TDL menyebabkan pedagang harus menaikkan biaya pelayanan untuk mengompensasikan beban ke konsumen. ''Karena hingga 60 persen service charge adalah dari ongkos penggunaan listrik,'' jelasnya seperti dikutip oleh situs berita republika.co.id.
 
Masih seperti dikutip oleh situs berita republika.co.id Franky menegaskan hingga saat ini, ada sebanyak 36 asosiasi dari berbagai sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur nasional bergabung mengajukan petisi menolak TDL. Di antaranya yang baru bergabung adalah asosiasi hotel dan restoran (PHRI) dan pemasok (AP3MI). ''Perdagangan di dalam negeri jadi tidak kompetitif,'' tegasnya. (republika.co.id)
 
Akibat yang pasti dari kenaikan TDL ini sudah tentu masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah yang paling terbebani. Apakah mereka akan menolak? Sudah pasti mereka pasti menolak kenaikan tersebut. Sebab secara tidak langsung akan berpengaruh pula pada kenaikan harga-harga.
 
Sebab para produsen harus menaikan harga barang sebagai kompensasi dari kenaikan listrik tersebut. Hal ini tentu sangat memberatkan rakyat dengan ekonomi rendah, namun apakah pemerintah peduli akan hal tersebut? Tidak dan sekali lagi tidak!
 
Sekalipun mereka berdalih bahwa kenaikan tersebut hanya untuk listrik yang berada diatas 900A. Namun hal tersebut tetap berpengaruh pada biaya produksi yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang pokok.
 
Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya yang berkuasa dan berdaulat bukanlah rakyat sebagaimana jargon demokrasi yang selama ini didengungkan. Slogan demokrasi yang selama ini kekuasaan berada ditangan rakyat sebenarnya hanya sebuah ilusi dan kedustaan besar-besaran agar melanggengkan kekuasaan yang dipegang oleh kaum borjuis. Bahkan perdana menteri Britania Raya Winston Churcill mengatakan bahwa demokrasi merupakan kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan.
 
 
Fakta Kesepuluh
Pada 15 Juni 2010 salah satu partai mengajukan pengadaan “Dana Aspirasi” setiap anggota DPR RI mendapat jatah Rp.15 milyard per daerah pemilihan. Hal yang sungguh diluar batas, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang tengah terpuruk. Walaupun begitu, beberapa anggota DPR tidak menyetujui dan sebagian menyetujuinya.
 
Kasus-kasus yang hingga sekarang tidak terpecahkan dan seolah menggantung diantaranya sebagai berikut:
 1.                  Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta  Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.
 2.                  Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
 3.                  Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun.
 4.                  Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut. Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.
 5.                  Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
 6.                  Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
 7.                  Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.
 8.                  Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
 9.                  Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI? Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat.
 Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus.
 10.              Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar. Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.  (Pusat Data dan Analisa Tempo, Fitrio – Tempo Arti Korupsi dalam KamusHukum.com.)
 
Dengan berbagai macam kasus korupsi yang hingga sekarang masih terkesan menggantung tentu banyak kalangan mempertanyakan, dimana penegakkan hukum  tersebut?. Sebelumnya diatas telah dijelaskan bahwa segala sumber masalah yang terjadi adalah akibat dari penerapan sistem yang salah yaitu demokrasi.
Berbagai fakta tersebut hanyalah sedikit dari sekian kasus yang terjadi di Indonesia yang hingga sekarang belum juga terselesaikan. Pada bagian akhir dari bab ini ada satu pertanyaan yang harus direnungkan dan dijawab dengan jujur. Apakah sistem sekarang merupakan sistem yang terbaik?
(sumber: hasil beberapa kali diskusi tanpa topik dan browsing)