Fakta Pertama
Masih segar
dalam ingatan kasus Semanggi Mei 1998 yang lalu, ketika semua orang menuntut
presiden Soeharto untuk turun setelah lebih dari 30 tahun berkuasa. Saat itu,
mahasiswa turun kejalan dan menduduki gedung MPR DPR, pemerintah dibuat bingung
dan kewalahan dengan aksi massa yang tidak terkendali. Saat itu, ada yang
disebut dengan penembak misterius yang secara membabi buta menembaki para
mahasiswa yang sedang mengamuk. Saat itu dengung reformasi dalam segala hal
terus menggema disegala bidang. Akhirnya berakhir lah masa pemerintahan ORBA
dan beralih kepada masa reformasi.
Fakta Kedua
Pada tahun 1991
partai FIS di Aljazair memenangkan 188 kursi dari 231 melalui proses pemilu
yang berjalan demokratis. Namun, apa yang terjadi? Partai Islam yang
memperjuangkan syariah Islam ini justru dijegal dan hasil pemilu tersebut
dianulir oleh militer yang direstui oleh Perancis, bahkan para militer
menangkapi anggota partai ini. Hingga akhirnya FIS menjadi partai terlarang di
Aljazair.
Sama halnya
dengan HAMAS di Palestina yang sekian lama berjuang di luar parlemen mencoba
untuk masuk kedalam sistem demokrasi. Hasilnya adalah, ketika melalui proses
pemilu yang demokratis HAMAS memenangkan pemilu dengan hasil bulat dan
mayoritas, namun saat itu AS dan Israel tidak menginginkan hal tersebut dengan
segera hasil pemilu itu dianulir. Akhirnya, partai FATAH pimpinan Mahmoud Abbas
lah yang menjadi pemimpin Palestina.
Hal ini kembali
menimbulkan tanda tanya besar, benarkah demokrasi itu baik dan dapat
mensejahterakan rakyat? Sementara kita semua tahu HAMAS adalah partai yang
berjuang untuk membebaskan Palestina dari penjajah Laknatullah Israel, namun
ketika ia memenangkan pemilu apa yang terjadi?
Hal itu semua
sangat tidak sesuai dengan jargon demokrasi itu sendiri yang dikatakan
kedaulatan rakyat. Siapakah yang sebenarnya berkuasa dalam sistem demokrasi?
Rakyat atau orang-orang kaya yang memiliki kepentingan? Hal itu dapat dilihat
dengan mata telanjang, gamblang dan sangat jelas terbuka.
Lima tahun
setelah partai FIS dinyatakan terlarang, di Turki partai Refah memenangkan
pemilu dan berhasil duduk di parlemen dan memerintah dengan perdana menterinya
Najmuddin Erbakan. Namun, satu tahun berjalan, pemerintahannya digulingkan oleh
militer karena mereka menganggap partai ini memiliki agenda Islam yang
bertentangan dengan konstitusi Turki yang sekuler. Pada tahun 1998 Mahkamah
Agung Turki menyatakan bahwa partai Refah adalah partai terlarang.
Benarlah apa yang dikatakan seorang pengamat,
bahwa dalam demokrasi tidak ada sahabat dan musuh abadi tetapi yang ada hanya
kepentingan abadi.
Fakta Ketiga
Menurut artinya,
demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka
pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi
merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah
Demokrasi Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun,
benarkah realitanya seperti itu?
Faktanya, para
kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan
Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal,
konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai
posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka
dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapitalis pula
lah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan
presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap
para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris,
sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah,
serta golongan bangsawan aristokrat.
Pengkritik
demokrasi seperti Gatano Mosca, Clefrede Pareto, dan Robert Michels cenderung
melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas
atas mayoritas. Dalam faktanya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas
kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia
berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh
kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan
modal (kapital).
Kritik yang sama
muncul dari C. Wright Mills yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit
politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat
bahwa walaupun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang
ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit
di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi
kunci perekonomian. Mereka pun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah
tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama.
Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa
menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan
tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok
tertentu.
Pendukung
demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap
keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya
tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang
berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga
bangsawan, atau dari militer.
Dalam sistem
kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam
pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak
mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak
aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki
modal yang besar untuk mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan
pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya,
sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil,
kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen
kalau tidak memiliki modal.
Karena itu,
keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal
besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman
Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para
pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar
setelah Saudi Arabia.
Dalam sejarah
Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap
Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen.
Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan,
Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota
parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas
menngesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana
menteri).
Memang, dalam
kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat
persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan
suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar
dilaksakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan,
mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja,
cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau
negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan
Indonesia.
Klaim demokrasi
yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini,
selain keliru, juga utopis. Pada prakteknya, tidak mungkin seluruh rakyat
memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang
berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.
Fakta Keempat
Bagi para
pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai
unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja,
dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu
sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang.
Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan
demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya dalam
sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak
boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun
curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang
membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak.
Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang
kebebasan berpendapat ini.
Tidak
mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya
demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Perancis dan beberapa
negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya
atas nama sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi).
Atas nama perang
melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh
kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk
kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam
kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh
pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan
praktek lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.
Fakta Kelima
Banyak penganut
sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia.
Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga
supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa
kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktekkan oleh negara-negara kapitalis
hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang
menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia
Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan
oleh negara-negara kapitalis penjajah,
Dunia Ketiga
semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada
2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2
detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan.
Kemiskinan
terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk
negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya
diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan
dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli
parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde
Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak
lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktekkan saat ini oleh
negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.
Sementara itu,
kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor
demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah
merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi
kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di
dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat
berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian
utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.
Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara
imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara
yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar
demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk
menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat
saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan
demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi,
juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya,
negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait,
atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak
di negara-negara tersebut.
Fakta Keenam
Mitos lain
adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi
justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak
konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi
bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika
pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan
kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar
pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya.
Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan
dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai
penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia.
Masa reformasi
ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur
(yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar
dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan
kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas
kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.
Pemilihan kepala
daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari
demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh
Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih
oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal
antar masyarakat.
Hal yang sama
tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi
kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok.
Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia,
sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi
menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang
tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan
yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan
korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang
terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata menimbulkan
banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama demokrasi ini
telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut dengan
stabilitas?
Fakta Ketujuh
Pidato Bush yang
menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan
(jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem
demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan,
demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan.
Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom
(kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom
of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem
demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.
Benarkah dengan
kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana
itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan
teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang
angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.
Jadi,
persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat
itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif
sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi
(mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut
oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa
tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin
memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan
menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.
Fakta Kedelapan
Banyak pihak berharap,
demokrasi akan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat, berdasarkan asumsi
bahwa semakin demokratis, rakyat akan kian sejahtera. Berbagai model demokrasi
pun dicoba. Mulai dari Demokrasi Terpimpin ala Soekarno, Demokrasi Pancasila
ala Soeharto, demokrasi ala Habibie, hingga demokrasi liberal ala reformasi.
Namun, hasil yang diharapkan tak kunjung tiba. Rakyat tetap saja tidak
menikmati buah berdemokrasi selain hanya pesta demokrasi.
Terbukti, 60 tahun Indonesia merdeka
lebih dari 30 persen penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Lebih dari 100
juta penduduk belum memiliki akses air minum yang layak. Angka kemiskinan
berada pada angka sekitar 17 persen jika menggunakan standar nasional. Namun,
jika standar yang digunakan adalah Bank Dunia, lebih banyak lagi warga negara
Indonesia yang miskin. Kenyataan seperti ini tidak hanya dijumpai di Indonesia,
tetapi juga di negara lain seperti India yang jauh lebih dulu mencoba
berdemokrasi. Bahkan di Amerika sendiri, pemerintahnya tak mampu menghilangkan
kemiskinan ini. Malah tahun ini jumlahnya akan meningkat akibat krisis ekonomi.
Alfian, dalam tulisannya
berjudul ’Defisiensi Demokrasi’ (2000), menyebut demokrasi yang dikejar sangat
mudah menjurus pada defisiensi demokrasi; proses transisi tersebut pada
akhirnya menghalangi reformasi ekonomi. Bahkan reformasi ekonomi itu cenderung
dimanipulasi oleh elit penguasa dan akhirnya menjebak proses transisi menjadi
lahirnya otoritarianisme baru. Proses demokrasi justru mampu menyedot potensi
ekonomi yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lebih luas, hanya
demi ongkos politik. Menarik kiranya mengutip pernyataan Samuel Hutington
(1996), bahwa demokrasi tidak selalu merupakan pilihan terbaik karena ia dapat
menimbulkan inefisiensi dan ketidakpastian.
Para pengamat politik menilai
biaya Pemilu tahun ini terlalu besar. Jika ditotal, penyelenggaraan Pemilu dan
biaya yang dikeluarkan oleh partai politik dan calegnya, angkanya bisa mencapai
Rp 50 triliun. Ini hampir sama dengan anggaran untuk mengatasi kemiskinan yang
berjumlah sekitar Rp 57 triliun. Padahal rakyat tidak merasakan langsung dana
yang besar itu. Lagi-lagi yang diuntungkan para pengusaha, bukan rakyat jelata.
Tak mengherankan, jika krisis
ekonomi di Indonesia tidak kunjung usai setelah 10 tahun berlalu. Ironisnya, di
tengah keterpurukan ekonomi seperti ini banyak berseliweran mobil-mobil mewah
dan pembangunan gedung-gedung megah. Mereka inilah kelompok yang diuntungkan
dalam demokrasi sekarang. Ingat, bahwa demokrasi adalah sarana bagi
liberalisasi perdagangan menancapkan kukunya di negara-negara berkembang.
Fakta Kesembilan
Menteri
perekonomian Hatta Radjasa mengatakan bahwa kenaikan TDL hampir pasti sebab
telah diputuskan sesuai dengan APBN 2010 sebesar 10% yang direncanakan berlaku mulai tanggal 2
Juli 2010.
Sementara diluar
gedung DPR, banyak masyarakat yang menolak kenaikan TDL tersebut, beberapa organisasi mahasiswa langsung turun
kejalan menyuarakan suara rakyat kecil. Salah seorang warga yang menolak
disebut namanya menuturkan bahwa rencana kenaikan TDL ini terasa sangat
memberatkan dirinya. Tidak hanya dirinya, namun juga masyarakat dengan tingkat
ekonomi kebawah.
Warga Gorontalo
sebagaimana dikutip oleh situs berita antaranews.com dengan terang-terangan dan
tegas menolak rencana kenaikan TDL tersebut. Seorang warga mengatakan,
"Saya pribadi tak percaya lagi dengan PLN. TDL mau naik, tapi pelayanan
mereka tak ditingkatkan dan sangat tidak profesional".
Sebelumnya
sempat beredar isyu bahwa listrik akan gratis, namun hal tersebut dibantah oleh
menteri energi dan sumber daya mineral Darwin Saleh di Jakarta. Menurutnya,
sekarang ini ada sekitar 18 juta keluarga miskin yang belum menikmati jaringan
listrik, sehingga akan menyebabkan ketidakadilan bagi yang belum mendapat
layanan PLN. (berita.liputan6.com)
Bisnis Ritel pun
menyesalkan dengan adanya kenaikan TDL tersebut. Koordinator Lintas Asosiasi
Nasional, Franky Sibarani, mengatakan kenaikan TDL menyebabkan pedagang harus
menaikkan biaya pelayanan untuk mengompensasikan beban ke konsumen. ''Karena
hingga 60 persen service charge adalah dari ongkos penggunaan listrik,''
jelasnya seperti dikutip oleh situs berita republika.co.id.
Masih seperti
dikutip oleh situs berita republika.co.id Franky menegaskan hingga saat ini,
ada sebanyak 36 asosiasi dari berbagai sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur
nasional bergabung mengajukan petisi menolak TDL. Di antaranya yang baru
bergabung adalah asosiasi hotel dan restoran (PHRI) dan pemasok (AP3MI).
''Perdagangan di dalam negeri jadi tidak kompetitif,'' tegasnya.
(republika.co.id)
Akibat yang
pasti dari kenaikan TDL ini sudah tentu masyarakat dengan tingkat ekonomi
rendah yang paling terbebani. Apakah mereka akan menolak? Sudah pasti mereka
pasti menolak kenaikan tersebut. Sebab secara tidak langsung akan berpengaruh
pula pada kenaikan harga-harga.
Sebab para
produsen harus menaikan harga barang sebagai kompensasi dari kenaikan listrik
tersebut. Hal ini tentu sangat memberatkan rakyat dengan ekonomi rendah, namun
apakah pemerintah peduli akan hal tersebut? Tidak dan sekali lagi tidak!
Sekalipun mereka
berdalih bahwa kenaikan tersebut hanya untuk listrik yang berada diatas 900A.
Namun hal tersebut tetap berpengaruh pada biaya produksi yang mengakibatkan
kenaikan harga-harga barang pokok.
Hal ini
membuktikan bahwa sebenarnya yang berkuasa dan berdaulat bukanlah rakyat
sebagaimana jargon demokrasi yang selama ini didengungkan. Slogan demokrasi
yang selama ini kekuasaan berada ditangan rakyat sebenarnya hanya sebuah ilusi
dan kedustaan besar-besaran agar melanggengkan kekuasaan yang dipegang oleh
kaum borjuis. Bahkan perdana menteri Britania Raya Winston Churcill mengatakan
bahwa demokrasi merupakan kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan.
Fakta Kesepuluh
Pada 15 Juni
2010 salah satu partai mengajukan pengadaan “Dana Aspirasi” setiap anggota DPR
RI mendapat jatah Rp.15 milyard per daerah pemilihan. Hal yang sungguh diluar
batas, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang tengah terpuruk. Walaupun
begitu, beberapa anggota DPR tidak menyetujui dan sebagian menyetujuinya.
Kasus-kasus yang
hingga sekarang tidak terpecahkan dan seolah menggantung diantaranya sebagai
berikut:
Dengan berbagai
macam kasus korupsi yang hingga sekarang masih terkesan menggantung tentu
banyak kalangan mempertanyakan, dimana penegakkan hukum tersebut?. Sebelumnya diatas telah dijelaskan
bahwa segala sumber masalah yang terjadi adalah akibat dari penerapan sistem
yang salah yaitu demokrasi.
Berbagai fakta tersebut hanyalah sedikit dari sekian
kasus yang terjadi di Indonesia yang hingga sekarang belum juga terselesaikan.
Pada bagian akhir dari bab ini ada satu pertanyaan yang harus direnungkan dan
dijawab dengan jujur. Apakah sistem sekarang merupakan sistem yang terbaik?
(sumber: hasil beberapa kali diskusi tanpa topik dan browsing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar